Mommies, Ketahui Manfaat USG 4D Bagi Ibu Hamil       

Memiliki buah hati merupakan kebahagiaan yang sangat dinanti bagi pasangan yang sudah menikah. Menjaga kesehatan kehamilan sejak awal kehamilan adalah upaya untuk mendapatkan buah hati yang sehat ke dunia. Salah satu cara untuk mengontrol kondisi dan kesehatan janin adalah dengan melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG). Pemindaian ini menggunakan sistem gelombang suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan tampilan gambar janin di dalam perut sang ibu.

USG yang dilakukan pada ibu hamil biasanya adalah USG eksternal. Ada beberapa jenis USG mulai dari 2 dimensi, 3 dimensi dan paling mutakhir adalah USG 4 dimensi. Saat ini, USG 4 dimensi (4D) menjadi pilihan terbaik bagi ibu hamil untuk mengetahui kondisi janin. Sebab, dengan USG 4D, gambar yang ditampilkan lebih jelas daripada USG 2D atau 3D.     

Selain gambar yang lebih jelas, dengan USG 4D, mommies dapat memantau gerakan janin dan kondisi janin secara realtime. Hal ini sangat menarik, karena mommies dapat melihat langsung aktivitas janin, seperti tersenyum, cemberut, tidur, menguap, tersenyum, mengangkat atau menyilangkan tangan, gerakian kepala dan kaki janin dan lainnya. Gambar yang ditampilkan pun merupakan gambar bergerak, sehingga mommies seperti sedang menonton video janin di dalam perut. Bahkan mommies bisa menyimpannya untuk mengabadikan momen tersebut sebagai momen yang membahagiakan sebelum melahirkan dan membagikannya dengan orang-orang tercinta.

USG 4D dapat dilakukan pada usia janin 24 – 30 minggu. Pada waktu ini, wajah janin sudah terlihat lebih jelas. Bahkan, mungkin sudah terlihat mirip ayah atau ibunya.  Dengan pemindaian USG 4D, bagian-bagian tubuh janin yang lain pun terlihat lebih jelas. Biasanya, dokter akan menjelaskan bagian-bagian tersebut secara terperinci. Misalnya, jumlah jari tangan dan kaki, organ-organ tubuh, jenis kelamin janin, dan kontur wajah.

Pada kehamilan yang lebih beresiko, misalnya usia Ibu melebihi 35 tahun, Ibu memiliki resiko penyakit bawaan, seperti diabetes, darah tinggi dan lain-lain, pemindaian dengan menggunakan USG 4D lebih dianjurkan. Dengan USG 4D, memungkinan dokter kandungan untuk mendeteksi apabila ada gangguan pada janin. Misalnya, kelainan jantung bawaan, kelainan otak, cacat pada mulut atau langit-langit, kelainan tulang belakang, bentuk rahang, telinga dan lain-lain. Sehingga, dokter akan lebih mudah untuk melakukan penanganan tertentu jika memang diperlukan.

Prosedur yang dilakukan serupa dengan pemeriksaan USG jenis lain. Yaitu dengan mengoleskan gel pada ibu hamil yang telah dibaringkan dan menempelkan transduser. Alat tersebut digerakkan di atas perut ibu hamil dan akan memindai gambar janin di dalam perut, dan ditampilkan dapat dilihat langsung pada monitor. Biasanya USG dilakukan beberapa minggu sekali untuk mengontrol kondisi janin, namun tidak disarankan dilakukan terlalu sering karena paparan radiasi dapat memberi dampak kurang baik bagi tumbuh kembang si jabang bayi.

Kondisi kehamilan dengan ataupun tanpa resiko, pemindaian USG sebaiknya tetap dilakukan untuk memantau perkembangan janin. Apabila berat janin terlalu kecil atau terlalu besar, biasanya dokter menyarankan untuk mengonsumsi atau menghindari jenis makanan tertentu, memberikan vitamin atau obat tambahan yang aman bagi mommies. Dan pada kondisi-kondisi lainnya pun demikian. Hal ini dapat mengoptimalkan pertumbuhan janin sehingga pada saat dilahirkan nanti, kondisi janin dan Ibu diharapkan adalah dalam kondisi terbaik.

Punya Anak Dua, Gimana Rasanya?

Ini adalah masa keemasan saya jadi seorang ibu beranak dua. Everything seems wonderful. I am thankful for what I have today.

Gak berasa, baby number two udah mau menginjak enam bulan. Waktu berjalan cepat. Sebentar lagi dia lulus asi eksklusif dan mulai makan MPASI (makanan pendamping ASI). Dan Si Sulung pun sudah melewati usia tiga tahun. Wow, tulisan terakhir kayaknya dia baru mau dua tahun, sekarang udah tiga tahun aja. *rolling eyes*

Punya anak dua tuh, so far ya, lebih menyenangkan daripada punya anak satu. Well maybe karena sikecil datang di saat yang memang tepat, sesuai dengan aturan dari-Nya. Meski awalnya saya ragu apakah saya siap, apakah saya bisa, apakah si sulung akan menerima. Ternyata di luar dugaan semuanya berjalan dengan hepi.

Punya bayi lagi membawa suasana yang berbeda dari sebelumnya. Anak nomor dua membuat hidup kami lebih berwarna. “Ternyata Tuhan kasih anak perempuan untuk ini toh” ucap saya dalam hati. Pembawaan saya dan suami lebih kalem dan sumringah melihat dia. Juga dengan si sulung yang sejak dia lahir nggak pernah merasa cemburu apalagi menyakiti. Si sulung bahkan sangat menyayangi dan takut kehilangan adiknya. Oh I love you so much, Ziel.

Terima kasih sudah menjadi kakak yang baik untuk Ziva. Maaf ya, mungkin sejak kelahiran dia, waktu kamu jadi berkurang sama Amih. Tapi kamu harus tahu bahwa tidak sedikit pun rasa sayang Amih berkurang padamu. You are a very good, caring and loving brother to her.

Sesekali saya merasa sedih karena kedekatan saya dengan si sulung agak pudar. Tapi di sisi lain itu membuat dia jadi lebih dekat juga dengan Apihnya. Saat saya mengurusi Ziva, dia sudah tau harus ke mana. Bahkan sekarang sudah mau main sendiri di luar kamar kalau adiknya sedang tidur.

Kehidupan kami memang tidak sempurna, tapi dalam segala keterbatasan ini kami belajar untuk tetap bersama-sama. Dan itu yang saya lihat dari si sulung. Dia selalu mengingatkan saya tentang hal-hal baik yang sudah kami ajarkan padanya, ketika saya tersilap dan mulai merasa jenuh.

Jenuh. Ya, hampir semua ibu rumah tangga merasakannya. Pasti. Karena rutinitas yang sama setiap hari, sudah bisa ditebak jam-jam berikutnya sedang apa. Itu adalah resiko yang harus diambil ketika memutuskan untuj berhenti kerja. Kehidupan sosial pun semakin terbatas, terlebih untuk orang seperti saya yang jauh dari keluarga untuk hidup di kota rantauan, karena tidak punya pilihan.

Ketika otak merasakan kejenuhan, saya melihat kembali kedua anak saya. Sedikit menenangkan saya. I live for them, they’re the reason for me to hang on. Sepahit apapun dijalani untuk mereka. Karena saya tidak punya alasan lain lagi. Merekalah sumber kebahagiaan saya.

Melahirkan (Anak ke-2) dengan Santai

 

“Saat datang ke rumah sakit, kami di-ping pong-in bagian administrasi. Ketika diperiksa, eh, sudah bukaan lengkap. Tapi belum bisa mengejan….”

Yaudah saya selow aja nonton TV dulu. Wadawww!

 

Alhamdulillahirobbil Alamin.

13 Maret lalu kami diberikan rezeki lagi anak ke-dua. A girl. A beautiful one. And she completed our family. Hari-hari berikutnya pun selalu dihiasi dengan senyuman manis darinya. I called her Smiley Girl, karena dia sangat mudah tersenyum dengan siapa saja sejak umur tiga bulan.

Di postingan ini saya akan berbagi cerita yang menyenangkan mengenai proses kelahiran Ziva. Kenapa saya sebut menyenangkan? Karena memang prosesnya santai, selow, dan tidak ada trauma sama sekali. Sesuai dengan ekspektasi.

* * *

Senin, 11 Maret dini hari, saya sudah merasakan adanya tanda-tanda menjelang kelahiran dengan adanya lendir di pakaian dalam. Sesuai dengan pengalaman anak pertama, memang keluarnya cairan berupa lendir bening adalah salah satu tanda persalinan sudah dekat. Tapi cairan yang keluar belum disertai darah, jadi saya masih tenang aja. Ibu mertua saya bilang,

“Kalau bisa jangan lahir Hari Selasa, nanti watak anaknya keras,” katanya. Sejenak saya tertawa dalam hati. Yang namanya kelahiran ya gimana anaknya ya, kapan mau lahir ya terserah dia.

Tapi kemudian saya berbicara kepada bayi yang ada di perut saya,
“Dek, lahirannya lusa aja ya,” hahaha rada nyeleneh sih. Karena kan kalo memang takdirnya dilahirkan Hari Selasa, ya mau gimana lagi. 😀

Selasa, 12 Maret, adalah Hari Ulang Tahun almarhum Papa saya, beliau juga sama dilahirkan pada Hari Selasa. Hmmm… ya saya juga nggak pengen sih tanggal lahirnya sama seperti Papa saya. Saya iseng-iseng searching apa yang dibilang sama ibu mertua saya, soal korelasi Hari Selasa dengan watak seseorang. Dan… jeng-jeng, setelah diperhatikan, di sepanjang minggu itu, hari terbaik untuk jika disambungkan antara watak dan hari kelahiran, adalah Hari Rabu.

Ehm.

“Lahirnya Hari Rabu aja dek, kalo gitu ya…” ucap saya lagi sambil mengelus perut.

Hari Selasa itu, yang biasanya saya rajin yoga, senam hamil, stretching, main birthball, tidak saya lakukan sama sekali. Seharian saya cuma nyuci baju (itupun pake mesin cuci), leyeh-leyeh gak ngerjain pekerjaan rumah tangga yang berarti. Tujuannya supaya nggak lahiran di Hari Selasa, wkwkwkwk. Konyol ya.

Selasa malam menjelang tidur, barulah saya mulai yoga lagi, pelvic rocking, dan segala macamlah supaya memicu kontraksi dan mempercepat persalinan. Sejak pertengahan kehamilan, saya memang mengupayakan diri supaya tetap lahiran normal seperti yang pertama. Alasannya simpel, karena saya sama sekali nggak kebayang masuk di ruang operasi. Belum lagi proses pemulihannya yang lebih rumit, karena saya sama sekali tidak pakai jasa ART. Setiap hari saya senam, yoga, dan di usia kehamilan yang disarankan, saya mulai berlatih di birth ball. Tapi olah raga yang paling saya suka adalah berenang. Bahkan saya berenang lebih banyak ketimbang ketika saya tidak sedang hamil. Saat hamil kedua ini saya bisa berenang sampai 10x bolak-balik kolam renang (1 jam full tanpa jeda) dan sama sekali tidak merasa capek atau kewalahan. Bahkan setiap selesai berenang saya selalu merasa hepi.

Back to the labor day, ajaibnya, Rabu 13 Maret dini hari sekitar jam satu pagi, saya mulai merasakan kontraksi. Wah, wah, ini nih tandanya, dalam hati saya. Keren, langsung banget ini efek yoga-nya. Pagi buta itu saya sulit untuk kembali tidur, entah kenapa kok saya sangat excited sampe gabisa tidur lagi hahaha. Saya masih sempat Sholat Subuh, dan pagi itu saya terlelap di sofa. Antara sadar dan tidak sih, karena merasakan kantuk dan kontraksi bersamaan. Saya bilang sama suami untuk ngantor dulu, selow lah, kata saya.

“Nanti kalo udah nggak tahan banget saya kabarin,” kata saya pas suami berangkat kerja. Alhamdulillah sih jarak rumah ke kantor cuma 10-15 menit aja. Deket.

Siangnya, suami pulang buat makan siang di rumah. Setelah makan siang, kami galau pas suami harus balik lagi ke kantor, takutnya nanti tiba-tiba harus buru-buru ke rumah sakit. Jadilah suami minta ijin untuk stay di rumah nemenin saya. Saya pantau kontraksi melalui aplikasi. Random sih saya install, yang penting bisa nge-track intensitas kontraksi. Walaupun begitu, jam dua siang, aplikasi udah nyuruh saya pergi ke rumah sakit, saya masih bilang belum, nanti aja.

Saya masih nyuapin anak saya makan siang sambil ngerasain nikmatnya kontraksi. Duh duh bentar lagi mau ketemu gadisku, hihi. Jam tiga sore saya makan, karena ngeden itu butuh tenaga, sodara-sodara 🙂

Setengah empat, saya udah bilang sama suami, intensitas kontraksi udah naik nih. Saya masih melakukan pelvic rocking pake birth ball sambil atur nafas dan tersenyum.

“Bentar lagi kita ketemu, Cantikku…” uwh rasanya kayak mau ketemu pujaan hati, mesem-mesem sendiri. Si Sulung masih tidur siang dan suami masih ngurusin tukang yang lagi benerin pipa air. Yadalahhhh… yaudah saya tungguin deh tuh sambil rebahan, merem melek nikmatin kontraksi sambil ngeliatin tv (lupa di tv nonton apaan, udah gak konsen haha). Setelah suami selesai dengan urusan pipa, kami pun gantian mandi. Saya sempet mandi pake air hangat tuh, enak bangettt bikin rileks. Setelah itu, pukul 16.30 kami bertiga berangkat ke rumah sakit.

Di perjalanan ke rumah sakit, saya ngerasain kontraksi udah gabisa ditahan lagi, tapi masih selow atur nafas.

“Kita mau ketemu adek nih, bang…” kata saya ke Si Sulung.

10 menit kemudian sampe di rumah sakit, saya langsung ke resepsionis buat daftar. Resepsionis nyuruh saya ke IGD dulu buat pasang infus, eh dari IGD bilangnya disuruh langsung ke bagian kebidanan. Suami yang menggantikan saya di resepsionis. Si mbak di resepsionis malah nanya,

“Ini betulan mau lahiran sekarang kah?” Wuahhhh aneh banget ni pertanyaan. Suami saya langsung naik darah.

“Mbak tanya langsung aja orangnya (nih)!” sambil kesel.

“Sudah kontraksi mbak,” kata saya.

“Oh iya, soalnya pernah ada yang datang trus lahirannya masih lama,” katanya. Ngelawak nih si mbak, biarpun begitu, kan kondisi yang sebenernya cuma bagian bidan yang bisa memutuskan. Haha, yaudah saya langsung deh ke bagian kebidanan. Ketemu sama bu bidan di sana, saya langsung disuruh naik ke ranjang untuk diperiksa, karena dokter obgynnya belum datang, maklum itu bukan jam prakteknya.

Setelah diperiksa detak jantung bayi bagus, saya diperiksa bagian dalam. Kaget, bu bidan bilang,

“Wah, sudah bukaan lengkap bu.” wadaaawww!

Lucunya, walaupun sudah bukaan lengkap, saya belum merasakan mulas. Selama dipasang infus dan diperiksa, saya masih santai aja sambil nonton tv tabung yang ada di kamar bersalin itu.

Pas tau udah bukaan lengkap, bu bidan ngasih tau suami (dan Si Sulung) yang lagi nunggu di luar ruangan, supaya ngambilin perlengkapan bersalin. Akhirnyalah suami tergopoh-gopoh balik ke mobil sambil menggendong Si Sulung untuk ngambil tas perlengkapan yang sudah disiapkan beberapa minggu lalu.

“Tapi ibunya hebat ya, masih santai aja.” kata perawat yang membantu memasangkan infus di tangan saya. Saya tersenyum aja.

Bu bidan kemudian menelpon dokter kandungan yang ternyata sedang di perjalanan. Dokter menganjurkan bidan untuk memberikan saya perangsang supaya terasa mulas sambil menunggu beliau datang. Dokter ini adalah dokter yang sama yang membantu kelahiran anak pertama saya. Alasannya memilih lahiran di sana karena itu satu-satunya rumah sakit yang bermitra dengan asuransi dari kantor suami. Tapi yang bikin nyaman adalah karena dokternya perempuan. Saya males dan risih kalo lahiran di obgyn laki-laki. Kalo cuma periksa USG sih oke ajalah.

Perlahan rasa mulas itu datang. Dokter kandungan udah dateng sih tapi masih nunggu di ruangannya di depan kamar bersalin. Makin lama rasa mulas makin menjadi.

“Sus… udah mulai mules nih suuuus…” rintih saya sambil mengatur nafas. Dokter obgyn yang sudah dipanggil oleh perawat, terburu-buru masuk ke ruangan bersalin.

“Kalo udah nggak tahan, dikeluarin aja bu (ngeden),” kata bidan. Nggak lama, dokter datang sambil bilang,

“Bentar bu, tahan bu, tahan” sambil memakai sarung tangan. Lah, saya yang udah duluan mendengar aba-aba dari bidan pun serta-merta ngeden dengan sekuat tenaga. Jadilah yaaa.. si bayi lahir hanya dengan sekali dorongan, saat bu dokter masih pake sarung tangan sebelah. Bu bidan duluan yang nangkep si bayi. Setelah itu, adalah waktu-waktu yang ‘mengerikan’ sekaligus menggelikan buat saya. Di mana dokter obgyn dan bidan beradu argumen di depan saya. Bahkan untuk menjahit robekan pun mereka melakukannya hampir 20 menit karena bersitegang satu sama lain.

Ya ampun, bagian “itu” saya mau dibenerin ya harus berantem dulu nih ibu-ibu. Untungnya saya sambil minta Inisiasi Menyusui Dini (IMD) sama bayi saya, jadi nggak begitu terasa lah sakitnya. Beneran deh, ngelahirin sama dijahitnya lebih sakit dijahitnya. *tutup muka*

Udah gitu, pas si dokternya marah-marah, perawat-perawat yang di belakangnya juga kayak sama-sama nggak seneng ngeliatnya. Hahaha, bener-bener awkward deh suasananya.

Proses kelahiran anak kedua ini mirip dengan yang pertama. Nggak ada kendala yang berarti sih, alhamdulillah. Lahiran di rumah sakit yang sama, dokter yang sama, ruangan yang sama, ruangan perawatan juga sama. Bahkan, waktu kelahirannya juga mirip, cuma beda setengah jam aja. Dan ya, sama-sama dilewati tanpa keluarga dan orang tua. Kami udah terbiasa. Karena jarak dan biaya yang nggak sedikit untuk bisa menjenguk kami. Jadi kami mahfum. Kami belajar mandiri dengan kondisi seperti itu. Alhamdulillah ini hal yang positif aja sih, walaupun saya sempet pengen juga ditemenin sama keluarga, seperti kakak-kakak saya yang lain (bahkan ada yang dibayarin sama orang tua). Tapi ya… ini yang menguatkan kami sebagai keluarga kecil yang jauh di rantauan.

Overall, proses persalinan Ziva santai, selow, menyenangkan, hepi semua. Termasuk Si Sulung yang surprisingly nggak ada tanda-tanda cemburu sama sekali sama adiknya. We’re blessed. Kami senang dan bahagia, dan kebahagiaan ini sudah terlengkapi dengan kehadiran Ziva.

Alhamdulillah.

Alhamdulillah.

Masya Allah Tabarakallah….

 

Si Kecil yang Menginspirasi Kami

Beberapa waktu lalu saya melihat postingan dari website motherly di Facebook. Sebuah video yang menggugah perasaan dan pikiran tentang sahabat kecil saya.

I remember wishing the newborn phase would end. It was hard to believe it would ever get better. When life felt like a blur of sleepless nights. Cluster feeding and witching hours. So on particularly rough day. When someone sighed at me and said : “Don’t worry, they don’t stay babies forever.”

I rolled my eyes and thought : “Well, good.”

I knew the newborn phase was beautiful. But it was also hard. I was tired of being needed so much. I was longing to fast forward the next phase. I was counting the days to a little more freedom. But as time has passe I’ve come to realize… The cliche is so true : THEY DONT STAY BABIES FOREVER. It hit me when I least expected it. 

One day I looked at my child and thought : “Where did my baby go?” 

I realized then, I was already in the next phase. First breaths had turned into first steps. My kids were off and running. Changing each day in little and huge ways. I know now that I can’t rush or stop time. So I just try to breath through the hard moments. And celebrate the good ones. And hold on to that simple, eye-opening truth : THEY DON’T STAY BABIES FOREVER. (Inspired the words of Alicia Hughes) 

 

Ya, ini tentang anak saya. Yang bulan depan akan menginjak usia dua tahun. Pikiran saya berputar kepada waktu ketika dia baru lahir hingga usia satu tahun. Phew, sepertinya itu adalah salah satu waktu terberat, sekaligus favorit saya. Melahirkan dan mengurus anak tanpa keluarga dan bantuan pengasuh. Awalnya sangat berat, begitu menguras tenaga dan pikiran yang membuat saya selalu merasakan homesick.

1530096037995

Tapi setelah waktu berlalu. Dan saya berpikir, “Oh, (ya ampun) udah mau dua tahun,” saya bersyukur bahwa di tahap ini saya merasa lebih menghargai hidup, terutama waktu bersamanya. Tak apa saya tak bekerja, tapi saya melihat setiap detik perkembangannya (eits lebay), tak apa agak kurang berwisata, yaaa berwisata pun selalu membawa dia hehe, mudah-mudahan seiring waktu kami bisa lebih banyak bepergian bersama. Dan sejak menikah kami diberikan kehidupan yang cukup, layak, terpenuhi segala kebutuhan pokoknya.

Saya sempat merasa ragu akan perkembangannya, tetapi ternyata dia menunjukkan bahwa dia bukanlah anak yang remeh-temeh. Meski ada kekurangan ketimbang anak lain, dia juga memperlihatkan kelebihannya. Well, yeah, setiap anak itu istimewa, ya kan. Walaupun secara lisan dia agak terlambat bicara, tetapi secara psikologis dan mental dia terlihat lebih sabar, mudah diatur, dan mandiri. Ketika bermain dia juga nggak pernah menyakiti teman mainnya, tidak pernah merebut mainan, dan selalu mau berbagi.

Hal yang juga di luar dugaan adalah, dia anak yang cukup iseng, hehe. Ada aja kelakuan isengnya yang lucu. Dan saya pikir, “Ini belom dua tahun kok udah (kepikiran) iseng begini sih?” kebayang dong nantinya kayak gimana. Pasti seru, haha….

Terlebih ketika Lebaran lalu dia dibawa mudik ke Surabaya. Perjalanan dari Samarinda ke Depok, Depok – Surabaya, Surabaya – Baluran – mengelilingi Banyuwangi, Banyuwangi – Situbondo dan sekitarnya, kembali ke Surabaya, Surabaya – Semarang, Semarang – Depok, Depok – Serpong – Depok, kemudian kembali ke Samarinda, alhamdulillah nggak cranky atau rewel, padahal seringkali kami memulai perjalanan selepas subuh. Saat shalat Ied pun dia ikut padahal mulai jam 6.30 pagi, tanpa rewel. Yang paling bersyukur karena dia tetap sehat sekembalinya ke rumah. Mengingat, tahun lalu dia dibawa traveling ke Lampung dan pulangnya sakit. Dan pada saat perjalanan pulang dalam keadaan sakitpun dia nggak rewel. Masya Allah, anak baik.

Memang betul adanya, bila pepatah bijak mengatakan, kita akan mengetahui kepribadian seseorang ketika traveling bersamanya. Dan perjalanan liburan Lebaran kemarin semakin membuka mata saya akan karakter dan kepribadian Ziel ke arah yang positif.

1530103717570

Dikarenakan di rumah hanya ada saya dan suami, maka–sangat wajar–jika ia memerlukan waktu untuk bisa terbuka kepada orang asing. Meski, tidak semua akan sulit beradaptasi mendekati dia. Beberapa orang (yang terhitung menyenangkan), akan mudah untuk dekat dengannya, dan tak butuh waktu lama untuk bisa bermain dengan dia. Yaaa enggak tau deh, mungkin secara intuisi anak kecil juga bisa menilai ya, mana orang yang seru diajak main, mana yang enggak, entah itu menilai anak sesama umurnya atau orang dewasa. Enggak tau juga sih, tapi saya memprediksi bahwa penilaian seorang anak kecil pun sama seperti penilaian orang dewasa seperti kita. Seperti saya, saya juga akan menjaga jarak dengan orang yang saya nilai kurang menyenangkan dan suka pura-pura, meskipun saya tidak akan memperlihatkan secara gamblang ketidaksukaan saya seperti halnya dia.

Pada titik ini, saya semakin membuka pikiran saya, untuk perubahan positif. Agar saya juga bisa melihat lebih banyak hal positif yang ditunjukkan Ziel ke depannya. I never thought that he’s all grown up, he’s brave, generally a good and fun person. Yang saya rasakan, dia jadi semakin baik dan kerumitannya berkurang, kata lainnya sih semakin tidak menyusahkan. Padahal ada ketakutan kalau menginjak usia toddler dan pra-sekolah, anak akan memperlihatkan sikap yang menyebalkan. Semoga kebaikan dan hal-hal positif semakin banyak ditunjukkan oleh dia. Seperti kemarin, waktu kami ajak nonton, dia bisa duduk dengan tenang, nyemil popcorn, sempat tidur, lalu terbangun dan menonton dengan asik, tidak seperti sebelumnya yang minta jalan-jalan ke depan layar (dan saya pun menonton dari lorong sambil main hehe).

IMG_20180629_204938_023

 

Pada intinya, kita memang tidak bisa mengontrol sepenuhnya sikap anak kita. Kadang dia bisa menurut, kadang menolak. Tapi pada hakikatnya kita menggiring dia supaya tetap on a good track. Alhamdulillah sejak usia setahun, saya semakin menikmati keseharian saya momong dia, rasanya semakin sayang, bahkan saya dan suami seringkali membicarakan keunikan anak saya di belakang dia. Hmmm, yeah , basically he’s inspired us. Terima kasih, nak. We love you 😉

 

Tak Lagi “Merayakan” Ulang Tahun Setelah Kepala Tiga

 

Bagi sebagian orang, hari lahir atau hari ulang tahun adalah hari yang istimewa. Pada hari tersebut biasanya diadakan perayaan, pesta, doa dan lain-lain, baik yang diadakan sendiri atau diadakan (dibuat) oleh orang-orang dekat. Sepertinya seru sekali ya. Saya pun pernah diberikan hadiah dan “perayaan” beberapa kali oleh teman kantor. Dan beberapa kali oleh pasangan.

Tapi setelah menginjak umur 30, saya tak lagi merayakan atau terlalu mengingat-ingat hari ulang tahun. Dan di umur tersebut juga saya mendapat hadiah terakhir berupa benda dari suami berupa Al-Quran dengan terjemahan dan tafsir beserta tafsir khusus perempuan. Alhamdulillah.

Saya menangis waktu itu. Alasan pertama karena haru, diberi hadiah Al-Quran yang membuat saya jadi lebih semangat untuk membacanya. (Tapi belakangan, saya lebih suka membaca Al-Quran digital karena lebih mudah membacanya dan tampilannya lebih sederhana.) Alasan kedua saya menangis, justru karena tak punya alasan lain, hanya tetiba mengangis begitu saja. Saya lalu mengucapkan terima kasih pada suami dan memeluknya. **Sayangnya, justru saya lihat beliau belakangan lebih sering mempergunakan ponsel untuk hal lain ketimbang mencari ilmu. Semoga nanti lebih baik lagi ke depannya, karena saya pun sedang berusaha mengurangi terlalu banyak menggunakan ponsel untuk hal-hal yang tidak berguna.

diariesimage_2015-03-04_21-46-26

Ada beberapa hal yang menjadi alasan bagi saya untuk tidak lagi “merayakan” ulang tahun.

  1. Tidak ada perayaan Ulang Tahun di dalam Islam. Perayaan Ulang Tahun adalah sesuatu yang diada-adakan oleh kaum tertentu. Banyak Ustadz yang mengatakan, perayaan ulang tahun adalah adat atau kebiasaan orang kafir. Dan sebagaimana dijelaskan dalam Islam, “Orang yang meniru suatu kaum, ia seolah adalah bagian dari kaum tersebut” [HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Hibban]. Terlebih lagi jika Ulang Tahun dikaitkan dengan ibadah (tambahan), misalnya dengan doa-doa, dzikir-dzikir yang merupakan ritualisasi rasa syukur, maka hal tersebut termasuk ke dalam bid’ah. Sebagaimana kita tahu, segala hal yang berhubungan dengan ibadah (termasuk syukur, doa, dzikir) telah diatur oleh Allah SWT, dan menjadi hak perogatif Allah untuk menentukan adabnya. Terkadang, manusialah yang meng-ada-adakan/menambah-nambahi. Dan sebagaimana pula Hadist Bukhari-Muslim mengatakan, “Orang yang melakukan amal ibadah yang bukan berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak.” Bukan hanya tertolak amalannya, ibadah-ibadah yang termasuk bid’ah juga mendapatkan dosa. Wallahualam. Monggo dipelajari lagi apa itu bid’ah, karena saya juga masih belajar. Yang jelas, kita harus hati-hati dan lebih banyak mencari informasi, apakah sesuatu yang kita lakukan itu bid’ah atau bukan.
  2. Alasan kedua, saya tak perlu menunggu setahun atau tanggal tertentu untuk berdoa dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Setiap hari selagi masih sehat dan memiliki waktu lapang, saya berusaha untuk memperbaiki diri. Hal yang sama (akan) saya lakukan pada anak saya. Saya berdoa setiap hari untuk dia dan mengajarkannya untuk berdoa setiap hari, tak perlu menunggu saat Ulang Tahun. Di keluarga saya pun tidak diajarkan perayaan Ulang Tahun sama sekali. Jadi, walaupun dulu saya sempat bertanya-tanya kenapa Ayah Ibu saya seolah lupa tanggal lahir kelima anak mereka, (terlepas dari terlalu sibuk bekerja haha), saya mengerti sekarang.
  3. Alasan ketiga, setelah saya pikir-pikir, saya tak punya alasan untuk “merayakan”. I mean, why do I need to celebrate my birthday? Setiap kali Ulang Tahun kita semakin tua. Apa yang bisa dirayakan dari umur yang menua? Hellooo, we’re getting older, c’mon!! Setiap ulang tahun artinya umur kita juga berkurang, jadi apa yang bisa dirayakan dari hal itu? If I have a happy family, a great life, I will celebrate it everyday, feel thankful everyday, not only on my birthday. Bila dalam lagu ulang tahun biasanya kita bernyanyi, “Panjang umurnya.. panjang umurnya…” Pada kenyataannya umur yang bertambah atau panjangnya umur belum tentu memberikan berkah, belum tentu semakin giat juga kita beribadah dan berucap syukur. Bisa jadi bertambah panjangnya umur hanya membuat kita semakin sering mengeluh, mengumpat, menghujat, menyakiti orang lain, dll. Sama sekali bukan sesuatu yang baik dan tidak membawa manfaat. Mengubah Selamat Ulang Tahun dengan Met Milad, mengubah “Semoga panjang umur”  dengan “Barakallahu fii  umriik” juga tidak menjadikannya lebih Islami, kawan. Hukum perayaan ulang tahun, menghadiri acara ulang tahun, dan sekitarnya silakan digoogling sendiri atau tanya ke Ustadz untuk lebih jauhnya. They know a lot better than me.
  4. Alasan keempat, Celebrating (mostly) need a cost. Seperti halnya saya nggak pernah minta oleh-oleh sama teman yang akan traveling karena takut memberatkan mereka, saya juga nggak berharap orang rela menyisihkan uangnya untuk “merayakan” hari lahir saya. Berdasar pengalaman ya, dulu saya sering terlibat dalam patungan macam ini, hampir setiap bulanlah ada yang ulang tahun. Terus, nagihnya ke beberapa orang kok agak susah. Sampai-sampai kalo ada yang ulang tahun saling menunjuk untuk membayar atau membelikan duluan hadiah untuk yang mau ulang tahun. “Kamu aja ya, tolong cariin dan beliin dulu pake uangmu,” tapi hasil penagihan ke orang-orang gak lengkap alias kurang karena ada yang nggak mau bayar. Akhirnya ya direlakan saja kekurangannya. Saya juga mikir kenapa bisa susah banget nagih dua puluhan ribuan doang. Well, maybe bukan itu masalahnya. Mungkin memang merayakan ulang tahun itu bukan kebiasaan mereka, dan bukan prioritas hidupnya. Setelah saya pikir lagi, kalo setiap bulan keluar dua-tiga puluhan ribu, setahun bisa berapa? Daripada dikasih ke orang mampu, ya mending disedekahin. Kalo dihitung-hitung waktu itu jumlah pengeluaran untuk beli-beli hadiah macam gini selama setahun hampir setengah dari jumlah zakat penghasilan yang harus saya bayarkan. Lagian mereka ya udah bisa beli sendiri barang-barang yang mereka pingin kok. Sebaliknya orang yang dikasih surprise mesti nraktir balik sekian banyak orang yang memberinya hadiah. Nraktir belasan orang itu lumayan lho cost-nya. Bukannya pelit, kalo yang bersangkutan mau bagi-bagi makanan toh ya nggak usah ditodong juga, dia akan membagi secara suka rela. Tapi kalo memang menurutnya hari ulang tahun itu biasa-biasa saja, ya jangan paksa mereka dengan minta traktiran lah. Nggak semua punya budget untuk selebrasi macam begini. Memberatkan saudara (seiman) itu juga nggak baik lho.
  5. Last but not leastAs I started to forget about my birthday, so are the people. To be honest, saya dulu orang yang paling getol ngafalin tanggal ulang tahun keluarga, teman. Saya senang mengirimkan mereka ucapan-ucapan dengan penuh arti. Sesekali saya kirimkan hadiah juga, meski sekarang saya sudah tinggal jauh dari mereka. I do remember them as my best friends. Tapi seiring waktu mereka juga lupa terhadap saya. Invisible persons are easy to be forgotten, I knew it. And it’s fine. Setiap kali saya mengirimkan hadiah juga saya tahu saya tak perlu repot-repot berharap mereka akan mengingat saya dan melakukan hal yang sama. Hanya berusaha menunjukkan apa arti mereka di mata saya, itu yang saya lakukan. Dan sejujurnya tak perlu menunggu Hari Ulang Tahun, jika saya bisa, akan saya kirimkan berbagai macam hadiah untuk mereka. Tapi.. hal percuma lebih baik tak usah dilakukan sih ya. Kita toh udah gede juga, setiap orang udah sibuk dengan kehidupannya masing-masing sekarang.

So, intinya berdoa dan bersyukurlah setiap saat. Itu yang selalu saya tanamkan sejak tahun lalu. Memberikan hadiah juga tak perlu menunggu Hari Ulang Tahun, ini yang juga menjadi prinsip suami saya. Tapi bila masih ingin terlibat dalam perayaan macam ini, ya silakan saja, semua itu pilihan (atau karena nggak ada pilihan?? Biasanya karena nggak enak yaa berada di lingkungan yang melakukan kebiasaan tersebut hehee 😁)

Sejak saya memutuskan hal ini, saya justru merasa hidup lebih bermakna, berusaha untuk menikmati dan berbahagia setiap harinya. Saya juga jadi nggak terlalu berharap pada orang lain, about my existence. Kalau mereka menganggap saya berarti, mereka akan ingat terhadap saya. Kalopun nggak, ya sudah, life goes on. Seperti halnya setiap bayangan akan bergerak atau hilang, begitu juga memori akan diri kita di mata orang lain. Mungkin orang-orang akan mulai melupakan kita, dan kita mulai sibuk dengan kehidupan kita sendiri. Hidup berputar terus, hidup berjalan terus, ada yang menemani atau sendiri. Yang terpenting kita tak menyakiti siapapun. Dan yang lebih penting untuk dipikirkan adalah keberadaan kita di mata Allah. Sudah lebih baikkah setiap harinya.. setiap minggunya.. setiap bulannya.. setiap tahunnya.. dan seterusnya.

13118970_227883667588960_462716440577539941_n

Terlebih setelah punya anak ~~yang luar biasa menyenangkannya, alhamdulillah, saya bisa menikmati hidup setiap harinya. Selalu ada kekurangan tapi kita selalu berusaha memperbaiki keesokan harinya. Saya juga sudah mulai berhenti mengeluh dalam kehidupan di perantauan. Meski selalu dan tetap berharap jalan hidup akan sesuai dengan apa yang kita impikan. Ya, mimpi dan usaha harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Saya mencoba untuk menerima dan menjalani sebaik-baiknya, tetap berada dekat dengan mereka dan mendukung mereka.

Untuk sebagian orang, mertua, saudara ipar, keponakan-keponakan dan teman dekat, saya masih mengucapkan Ulang Tahun pada mereka, karena sesuatu alasan. Saya tak mau mereka merasa terlupakan. Tapi di keluarga inti saya, saya sudah berhenti mengucapkan Selamat Ulang Tahun. Saya senantiasa mendoakam mereka, sebagaimana saya berdoa untuk diri saya sendiri. Terlebih untuk saudara-saudara saya yang sering saling membantu dalam kesulitan dan saling mendoakan untuk kehidupan yang lancar dan baik.

Ini hanya sebagian kecil hal yang ingin saya ubah, untuk bergerak ke arah yang lebih baik. Saya hanya seorang fakir ilmu yang masih belajar menerapkan segala sesuatu sesuai dengan keyakinan yang saya percayai. Semoga kita senantiasa termasuk orang-orang yang berdoa, bersyukur dan berusaha menjadi insan yang lebih baik setiap saat. Tak perlu menunggu tahun besok, tahun besok, tahun besoknya, belum tentu umur kita sampe, ikhtiar mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik, lakukan sekarang. Kalau bukan sekarang, ya kapan lagi? *Bukan iklan* 😊

 

 

Melancholic Disaster

​Pernah nggak sih tiba-tiba merasa sedih, tapi sebenernya kehidupanmu saat itu ya nggak sedih-sedih amat? Tau-tau kepingin nangis melihat sesuatu yang sebetulnya nggak bikin kamu sedih juga. 

 I feel sometimes I don’t know nor I don’t want to feel what I feel.

Ini nyebelin banget sih ya. Karena ada di titik tertentu saya jadi nggak tau sebenernya apa yang sedang saya alami atau rasain. Mood swing-nya parrraaah!

To be honest saya bukan orang yang suka drama-dramaan, terutama buat dipertontonkan ke seluruh dunia alias biar orang tau. Dan puji syukur hidup saya juga nggak se-drama-tis itu. Dalam postingan-postingan saya selalu punya alasan yang jelas kenapa saya menulis topik tersebut. Saya nggak pernah nulis sejenis postingan seolah-olah “saya pengen makan tapi bingung sebenernya saya makan karena lapar atau karena bete”. 

Jadi ibaratnya saya juga nggak akan bingung kenapa saya makan (udah pasti karena lapar), and of course saya nggk perlu masukan orang lain tentang apa yang ingin saya makan saat itu diakibatkan oleh kebingungan (yang mana kebingungan itu sebenernya bukan diperut tapi di otak). Saya tau kebutuhan makanan untuk perut dan untuk pikiran itu beda. Ya pokoknya gitulah.

Dulu, waktu awal kuliah saya bukan tipe orang yang bisa tiba-tiba sedih tanpa alasan. Tapi di satu titik terlemah dalam hidup, ternyata saya bisa jadi sejenis super melancholic person. Selidik punya selidik, ternyata lingkungan yang berperan serta di dalamnya. Ketika saya dikelilingi oleh teman-teman yang menyenangkan, saling mendukung dan melindungi, saya bisa dengan cepat me-recover mood saya. Alias ga kelamaan bersedih-sedih. 

“Musik kayak gitu tuh buat didengerin pas kapan sih? Kalau lagi seneng, bakal bikin bete. Kalau lagi bete, dengerin musik macam gitu, ya makin depresi lah” petikan dialog film Ngenest.


Well ternyata, musik termasuk ke lingkungan yang mempengaruhi juga. Ketika sedih dengerin lagu minor, dijamin bakal tambah stress ya. Buat saya ini absolut. Musik bernada minor bikin mood saya berubah cepat. Melow, kalau kata anak jaman dulu. Baper, kata anak jaman sekarang. Padahal ya sebenernya, saat dengerin musik itu, saya nggak lagi sedih. Biasa aja. 


Tes  Kepribadian Galen VS MBTI

Nyontek dari Wapannuri, Claudius Galen membagi manusia ke dalam empat tipe kepribadian, yaitu Sanguinis, Koleris, Plegmatis dan Melankolis. Tapi pada dasarnya setiap manusia itu terdiri dari percampuran keempat kepribadian tersebut dan nggak ada yang bener-bener absolut, tapi salah satu/duanya akan dominan, yang menjadi kekuatan (strength) dan sisanya akan jadi kelemahannya (weaknesses). Dan hasil tes saya Plegmatis – Melankolis. Yep, saya tipe orang yang nggak suka dengan perselisihan, cinta damai, pesimis dan agak sensitif. 

Nah, saya pikir teori Galen ini nggak bersangkut paut sama MBTI yang membagi kepriadian manusia jadi 16 tipe. Ternyata justru MBTI merincinya jadi lebih gamblang. 

Menurut pengalaman, dengan berbagai penyesuaian, seseorang bisa punya hasil yang berbeda di waktu yang berbeda pula. Artinya, seseorang bisa berubah. Yes, perubahan yang lebih baik tentunya. Waktu pertama kali tes, saya INFJ (persis sama dengan hasil tes Galen). Tapi dites beberapa kali ternyata hasilnya bisa jadi INFP (pure phlegmatic)atau ISFP (phlegmatic-sanguine). Nah, sebetulnya saya lebih suka result yang terakhir. Seenggaknya masih ada sanguinnya lah, enggak melow banget gituuu. 

Sejak saya menikah, rasanya memang saya sedikit ketularan sisi sanguine dari suami yang sanguine – phlegmatic. Nah, kayaknya justru suami yang sedikit ketuleran sisi melancholic dari saya deh, jadi di waktu tertentu dia sempet gampang bete galau gitu, untungnya nggak lama. Aduh, melow-melow gak jelas itu memang nggak ada untungnya deh buat kami. 
Babyblues, melodramatic moment strike me back  

Sudah tau yang namanya babyblues dong ya? Memang, babyblues kebanyakan dipicu oleh faktor hormon yang tiba-tiba drop. Tapi kayaknya secara tidak langsung dipengaruhi juga oleh sisi melancholic seseorang deh. Coba dilihat lagi sisi negatif kepribadian melancholic di tabel atas. Yeeeaa, cepat kuatir, penakut, tidak punya motivasi. Bisa dibayangkan kalo ibu baru yang kepribadiannya melancholic pasti rentan terdeteksi babyblues. 

Kemarin, sehari sebelum menulis posting-an ini, saya tiba-tiba dilanda sedih yang entah datangnya dari mana. Terutama ketika saya melihat wajah baby saya. Umurnya 8 bulan sekarang, tumbuh dengan baik, mudah diajak senyum, jadi kalo dipikir-pikir ngapain saya sedih? (*nah mulai repot kannn!)😅

Memang saya punya alasan untuk baper, karena tetiba saya kepikiran waktu pertama kali babyblues dulu. Saya sempat kesal sama bayi saya karena telah merenggut waktu tidur saya. Ya ampun, cètèk banget ya… saya sempat berpikir apakah saya benar-benar siap jadi ibu, ngurus dua bayi (yang satu lagi bayi gede, alias suami hahaha). Which means saya harus menekan ego saya sekuat mungkin. Di titik ini, saya kok merasa seperti babyblues lagi gara-gara pernah ngerasain babyblues (mulai puyeng lagi ye kann). 

Lalu saya mulai teringat tes kepribadian saya itu. Kepribadian nyatanya bisa berubah menurut kebutuhan. Bener nih? Iyalah, tergantung dari kitanya mau apa enggak. And yesss, saya berhasil menghalau kegalauan dengan positive thinking, berhenti membiarkan sisi melancholic datang menghujam pikiran saya. Memang sisi melancholic bisa membuat sisi sensitif memunculkan empati yang tinggi. Tapi rasa empati bisa ditempatkan cukup pada waktu yang tepat aja kan, nggak harus sensitif sepanjang waktu. 

Dengan mengontrol sisi sensitif, saya merasa lebih baik. Saya jadi nggak terlalu melodramatic alias nggak berlama-lama bete karena suatu hal. Bete boleh, tapi kalau terlalu lama mendominasi, kita yang akan rugi sendiri. Kenapa? Coba bayangin kalo orang bete biasanya males ngapa-ngapain kan. Males makan, males pergi, males mandi (eh, yang ini bukan hanya karena bete sih hahaha). Di kondisi sekarang, akan rugi banget saya kalo enggak ngapa-ngapain. Saya harus makan (banyak) karena menyusui, dan saya harus ngerjain banyak hal karena nggak punya ART. 

So, bye bye my melodramatic side👋👋👋

Jangan sering-sering mampir yah. 

Ziel nyemplung perdana di kolam renang umum. Santai, gak panik. Untung tadi isinya kebanyakan anak kecil yg lagi les. Dan kolamnya gak berasa kaporit. Jadi aman buat Ziel nyilem.
#babyZ #6m10d

View on Path