Punya Anak Dua, Gimana Rasanya?

Ini adalah masa keemasan saya jadi seorang ibu beranak dua. Everything seems wonderful. I am thankful for what I have today.

Gak berasa, baby number two udah mau menginjak enam bulan. Waktu berjalan cepat. Sebentar lagi dia lulus asi eksklusif dan mulai makan MPASI (makanan pendamping ASI). Dan Si Sulung pun sudah melewati usia tiga tahun. Wow, tulisan terakhir kayaknya dia baru mau dua tahun, sekarang udah tiga tahun aja. *rolling eyes*

Punya anak dua tuh, so far ya, lebih menyenangkan daripada punya anak satu. Well maybe karena sikecil datang di saat yang memang tepat, sesuai dengan aturan dari-Nya. Meski awalnya saya ragu apakah saya siap, apakah saya bisa, apakah si sulung akan menerima. Ternyata di luar dugaan semuanya berjalan dengan hepi.

Punya bayi lagi membawa suasana yang berbeda dari sebelumnya. Anak nomor dua membuat hidup kami lebih berwarna. “Ternyata Tuhan kasih anak perempuan untuk ini toh” ucap saya dalam hati. Pembawaan saya dan suami lebih kalem dan sumringah melihat dia. Juga dengan si sulung yang sejak dia lahir nggak pernah merasa cemburu apalagi menyakiti. Si sulung bahkan sangat menyayangi dan takut kehilangan adiknya. Oh I love you so much, Ziel.

Terima kasih sudah menjadi kakak yang baik untuk Ziva. Maaf ya, mungkin sejak kelahiran dia, waktu kamu jadi berkurang sama Amih. Tapi kamu harus tahu bahwa tidak sedikit pun rasa sayang Amih berkurang padamu. You are a very good, caring and loving brother to her.

Sesekali saya merasa sedih karena kedekatan saya dengan si sulung agak pudar. Tapi di sisi lain itu membuat dia jadi lebih dekat juga dengan Apihnya. Saat saya mengurusi Ziva, dia sudah tau harus ke mana. Bahkan sekarang sudah mau main sendiri di luar kamar kalau adiknya sedang tidur.

Kehidupan kami memang tidak sempurna, tapi dalam segala keterbatasan ini kami belajar untuk tetap bersama-sama. Dan itu yang saya lihat dari si sulung. Dia selalu mengingatkan saya tentang hal-hal baik yang sudah kami ajarkan padanya, ketika saya tersilap dan mulai merasa jenuh.

Jenuh. Ya, hampir semua ibu rumah tangga merasakannya. Pasti. Karena rutinitas yang sama setiap hari, sudah bisa ditebak jam-jam berikutnya sedang apa. Itu adalah resiko yang harus diambil ketika memutuskan untuj berhenti kerja. Kehidupan sosial pun semakin terbatas, terlebih untuk orang seperti saya yang jauh dari keluarga untuk hidup di kota rantauan, karena tidak punya pilihan.

Ketika otak merasakan kejenuhan, saya melihat kembali kedua anak saya. Sedikit menenangkan saya. I live for them, they’re the reason for me to hang on. Sepahit apapun dijalani untuk mereka. Karena saya tidak punya alasan lain lagi. Merekalah sumber kebahagiaan saya.

Leave a comment