Damainya Berbaring di Bawah Langit Papandayan

Gunung. Gunung. Gunung.

Pokoknya tahun 2014 ini harus ada unsur gunung. Begitu isi catatan saya dari Desember 2013, waktu di mana saya merencanakan seperti apa trip yang mau diambil di 2014. Saya memang pada dasarnya adalah beach lover. Tapi kalo keseringan ke pantai, pantai lagi, pantai lagi, bosen juga. Perlu ada sesuatu yang baru. well, it seems too late yah untuk memulai perjalanan ke gunung-gunung. Teutapih.. untuk sesuatu yang baru dan baik, enggak ada salahnya dicoba. Cocok atau nggak, waktu dan pengalaman yang akan menunjukkan.

So, finally I started the first journey ke Gunung Papandayan. Dulu pernah ada ide ke Gunung Galunggung tahun 2012 sebelum resign dari tempat lama. Tapi katanya Galunggung gak jauh beda sama Bromo yang isinya tangga-tangga. Kalo gitu namanya bukan naik gunung tapi naik tangga. Ga ada gregetnya hehe..

Setelah searching di website backpackerindo, akhirnya saya memutuskan untuk ikut trip ke Papandayan. Menurut seorang temen yang dulunya anak gunung, Papandayan cocok buat pendaki pemula. Okeyzz, fix rencana ke sana. Walaupun setelah dibagi kelompok, ketiga orang yang ada di kelompok saya semuanya nggak bisa ikut karena berhalangan. Menyisakan saya sendiri, saya nggak punya alasan untuk ikut-ikutan gak jadi ikut, sekalipun musim hujan. Rain is not an exception, man…

Setelah ikutan technical meeting beberapa minggu sebelum trip, saya pun fix buat sewa peralatan camping. Tenda, sleeping bag, matras, ponco, headlamp dan sepatu trekking. Sehari sebelumnya saya ambil semua equipments dan mulai packing. Biarpun sendirian, rasanya tetep semangat.

Jumat, 24 Januari, pulang kerja jam 17.30 saya langsung pulang. Tapi di rumah nggak langsung siap-siap karena entah kenapa rada-rada males gerak dari ponsel hehe. Alhasil berangkat dari rumah pun telat, jam 19.30 wkwk pantesan aja ketelatan sampe Kp. Rambutan jam 10 hihi maaf manteman. Jam 11 bis meluncur. Berhubung ada longsor di KM 72 Cipularang, sopir memutuskan untuk lewat Jonggol supaya gak kena macet. Tapi bapak di sebelahnya bapak yang duduk di sebelah saya (ini ribet sekali hahha), agak rempong ngebahas soal ini sama bapak yang ada di sebelah saya. Si bapak satu itu bilang kalo kita bisa keluar dulu di pintu Ciganea terus masuk tol lagi, bilang kalo dia tau kilometer cipularang karena tiap hari lewat pake mobil pribadi (yah entah kenapa malem itu si bapak gak bawa mobilnya sendiri dan justru pakek bis ac ekonomi). Sesungguhnya saya paling males dengerin orang kayak gini, yang gak mau ikut kepentingan bersama, sok tau, kebanyakan ngoceh walaupun ocehannya nggak berguna juga buat mengubah aksi atau keputusan). Berisikkk..

Saya memutuskan untuk tidur aja. Walaupun susah, karena saya duduk di deket jendela di bangku tiga deret. Susah gerak karena bahu bersentuhan, dan cowo-cowo di belakang saya ‘melemparkan tanggung jawab’ dengan membuka lubang AC ke arah depan (saya dan bapak-bapak), alhasil saya pun kedinginan. Berkali-kali si bapak sebelah saya ngebalikin itu lobang AC ke belakang dan ada protes dari cowo di belakang kalo dia kedinginan, si bapak itu bilang, “Saya juga kedinginan!!” inilah hal kedua yang saya gak suka. Lempar aksi tapi bikin orang lain sengsara. Terlebih saya, yang buru-buru sampe ke terminal dan lupa makan malem. Perjalanan yang dingin itu pun disertai nyanyian indah dari dalam perut yang hanya bisa saya isi dengan air mineral, gegara makanan ditaruh di carrier yang disimpen di bagasi. Aduh biung..

Sampailah kita di Pom Bensin Tanjung, Garut, sekira pukul 4.30 pagi. Setelah buang air kecil, beli tolak angin dan tissue di Alfamart, nunggu temen-temen yang solat subuh, jam 5.30-an kita cuss pakai mobil pick-up. Ada insiden kecil di sini, karena seorang teman ketinggalan tenda di bis yang tadi kita tumpangi. Beruntung, salah satu panitia kenal dengan sopirnya dan menitipkan tenda supaya nanti bisa diambil ketika pulang. Saya yang soloist, pun akhirnya punya teman untuk diajak satu tenda, karena kelompok yang tadi tendanya ketinggalan dibagi dua untuk mendapat tenda. Untunglah saya bawa, jadi yaaa nggak sendirian dan terkucilkan hahaaa..

Sejam lebih perjalanan, melewati jalan besar kemudian berbelok ke jalan yang lebih kecil, lanjut jalan menanjak dan berlobang besar-besar, bahkan bisa dibilang sebagian jalan hilang membuat kita semua terguncang-guncang. Agak serem sih, tapi nggak disangka mobil pick-up itu kuat juga bawa sekira 15-16 orang satu mobilnya. Kerennn!

Yang nggak kalah keren tentunya adalah pemandangan di sekitar. Selama jalan berlobang menanjak dan terguncang-guncang itu, kita bisa lihat sawah-sawah, bukit, dan Gunung Cikurai, salah satu gunung di daerah Garut juga. Begini penampakannya di pagi hari…

Image

Indahnya Cikurai Berselimut Awan

Sekira pukul 7, kami sampai di pos Gunung Papandayan. Udaranya membuat tangan dan hidung jadi dingin. Di sini terdapat beberapa warung untuk singgah, minum minuman hangat dan sarapan, atau toilet yang airnya kayak air kulkas. Nasi goreng telor dadar dan teh manis hangat jadi pilihan saya yang sedari malam perutnya kosong. Surgaaa, si perut udah bisa tenang deh, angin juga udah pada keluar semuaaa digantikan nasgor dan teh manisss.

Image

Nasgor telor dadar sambil liat gunung, kapan lagi..

Setelah melakukan tos dan foto bersama, perjalanan pun dimulai. Jalanan awal ini berbatu besar, jadi enak untuk dipijak. Saya sendiri memilih untuk pake sepatu trekking yang mid, karena saya punya masalah dengan cara berjalan yang sering kesandung-sandung. Kebayang dong kalo kesandung batu gede-gede kayak gitu, bisa rusak jari kaki saya. Temen-temen lain ada yang pakek sandal gunung, sepatu running, dan sepatu trekking. Agak ngiler juga sih liat temen lain pake sepatu TNF dan Salomon *matabelo*

Image

We’re so ready to begin!

Sepatu yang saya pake merknya Hi-Tec waterproof, jenisnya sendiri saya lupa, yang jelas sepatu ini berat XD dan saya perlu penyesuaian dalam pemakaiannya di trek berbatu dan kerikil yang menanjak. Alhasil, gegara saya nggak pemanasan, saya mesti berkali-kali berhenti karena kaki kram. Keduanya! Kramnya cukup parah, tapi saya berusaha untuk mengatasinya sendiri. Sewaktu trekking di sekitar kawah, kaki saya kram parah, sampe harus berhenti hampir 15 menit, gerak-gerakin kaki supaya lentur dan rileks ototnya. Alhamdulillah bisa jalan lagi meski agak maksain, tapi lama-lama kramnya ilang sih.

Image

Siapakah yang lagi masak di situ? XD

Rasanya lumayan juga, baru setengah perjalanan berhentinya banyak banget. Ini berlaku buat yang lain juga. Karena lumayan banyak juga yang menjadikan Rindu Papandayan ini sebagai trekking pertamanya, seperti juga saya. Setelah jalanan menanjak berbatu, kami bertemu sedikit jalanan semak-semak, kemudian kembali jalanan berkerikil dan bertemu aliran sungai kecil yang menggemaskan (macam anak kucing aja menggemaskan). Pasalnya, untuk melewati aliran kecil itu, kita mesti jinjit-jinjit imut melompati batu-batu yang menonjol, hehe. Sebagian menyempatkan untuk sekedar cuci tangan atau membasahi wajah dengan air yang sejuk tersebut sebelum melanjutkan perjalanan.

aliran sungai kecil

aliran sungai kecil

Trek semakin menanjak setelah itu, kami melewati jalan memutar dan menikung tajam ke kanan, namun sebagian cowok memilih untuk memotong jalan dengan menanjaki jalur sempit dengan ketinggian yang sangat ekstrim, malah hampir vertikal. Saya sih memilih jalur yang lebih panjang tapi lebih safety deh, daripada trek pendek tapi membahayakan. Maklum, itu kita udah melewati 2/3 perjalanan di mana stamina udah mulai menurun karena membawa carrier yang berat. Bahu juga rasanya udah mulai perih. Ini gara-gara belakangan ini bobot saya susut, entah berapa kilo, tapi jam tangan udah mulai longgar, baju daleman yang dulu banget sesak, sekarang malah pas dan nggak ketat. Tulang-tulang jari tangan juga mulai berasa menonjol karena kulit yang makin tipis, gak ada dagingnya haha..

Selama perjalanan menanjak dengan total waktu 2,5 jam, saya hanya menyempatkan minum sekali, sebelum spot yang mirip gunung dibelah untuk dijadikan akses ke tempat camping. Ini jaraknya mungkin 200m dari gubuk volunteer, karena setelah melanjutkan perjalanan, nggak sampe 15 menit saya sampe di gubuk volunteer untuk kemudian 15 menit saja sampai ke Pondok Saladah, tempat camping kita. Alasannya, karena saya termasuk orang yang gampang sakit perut kalo kebanyakan makan/minum kemudian langsung dibawa jalan.

Dari gubuk volunteer, semangat yang turun, kembali naik. Karena saya pikir udah deket nih, tapi dirasa-rasa kok gak sampe-sampe haha. Untungnya, di tengah perjalanan itu, saya mendapatkan pemandangan yang asyik. Dari kejauhan terlihat air terjun dengan air yang hijau di bawahnya. Aaaah keliatan seger banget. Coba kalo bisa ke sana. Kurang tau air terjun itu namanya apa. Yang jelas, saya sangat menikmati istirahat duduk sejenak sambil memandangi air terjun itu. and… shoegazing..

air terjunnya keliatan kecil dari kejauhan, padahal tinggi tuh kayaknya

air terjunnya keliatan kecil dari kejauhan, padahal tinggi tuh kayaknya

        Sekira lima menit dari spot air terjun itu, kami pun sampe di Pondok Saladah, camping ground di kawasan Gunung Papandayan. Begitu sampe, saya dan teman-teman langsung naro carrier, duduk dan buka sepatu, mengistirahatkan kaki yang sesekali masih terasa kram. Berkali-kali juga saya mengolesi balsem otot ke bagian yang pegal dan kram.

        Temen-temen lain rupanya udah duluan mendirikan tenda. Tenda saya pun dibantu di-set oleh panitia. Baik sekali merekaaaa hihi.. Saya membantu sedikit-sedikit, berhubung belom ngerti cara setting tenda. Matahari udah mulai terik, jadi saya mesti merelakan kulit menghitam sewaktu pulang. Akh, ini nggak penting banget haha. Gausah mikirin kulit kalo lagi liburan, semua harus dinikmati semaksimal mungkin. yeaahhhh!

         Setelah tenda selesai, agenda selanjutnya adalah masak makan siang. Saya sendiri sebetulnya nggak bawa banyak bahan makanan yang mesti dimasak, kecuali beras, kacang ijo (yang akhirnya ga dimasak) dan kornet ukuran kecil. Saya cuma bantuin sebisanya, dan masak indomie kari ayam buat diicip bareng. Hmm, sebenernya malu juga sih kalo ikut-ikutan makan tapi ga ikutan bawa bahan. Tapi mau gimana lagi, jelang berangkat orang di kelompok saya batal semua, jadi saya memutuskan untuk bawa bahan makanan cukup untuk kebutuhan sendiri, dan diusahakan yang bisa langsung makan seperti roti, susu, cookies, dan yang gampang dimasak seperti mi instant. Waktu memasak ini diiringi dengan getaran tanah yang lumayan lama. Wah gempa nih, wah, wah.. sebagian udah was-was. Kami bertanya-tanya di mana pusat gempa, apa ini gempa dari gunung atau dari tempat lain.

“Palingan dari Pangandaran. Atau Tasik, ” temen saya bilang. Gempa pun berhenti, kami lanjut masak. Alhamdulillah temen-temen yang dibantuin masak berbagi makanannya, jadi saya dapet makanan lebih di dalem perut hehehe. Maklumlah di gunung kan dingin dan bikin jadi gampang laper. Selesai makan, saya dan dua teman masuk ke tenda, tiduran sebentar. Walaupun gak nyenyak tapi lumayan buat ngelurusin badan. Sayup-sayup di luar kedengeran orang sahut-sahutan teriak, biasalah becandaan. Saya kembali menutup mata. Beberapa waktu kemudian saya bangun, penasaran liat ada apa di luar. Ternyata kabut turun. Agenda yang tadinya adalah jalan ke hutan mati, harus dibatalkan karena hujan mulai turun. Kepala saya rasanya berat, badan juga anget, kayak mau sakit. Ini pasti gara-gara gak makan kemaren malem, jadi lah masuk angin. Saya sempet ragu buat summit besok, karena takut kondisinya tambah parah. Terpaksa saya minum obat sakit kepala, berharap paracetamol membantu badan jadi normal lagi.

          Alhamdulillah malem badan udah enakan. Saya gabung di bawah flysheet untuk masak-memasak. Suasana seru banget waktu makan malem bareng ini. Kebersamaannya bikin terharu *lebay* haha. Tapi saya seneng bisa berkontribusi jasa, karena saya sadar logistik saya minim. Terlebih, karena saya pun ikutan makan di situ. Setelah makan, kami balik ke tenda untuk tidur, save energi buat ke Tegal Alun besok. Sempet sedikit worry juga waktu siang tadi panitia nunjukkin jalur pendakian yang sangat curam. Tapi saya pikir, yaudahlah liat besok aja.

         Malemnya, cuaca superrr dingin. Sleeping bag saya yang Jack Wolfskin KW nggak mengcover seluruh rasa dingin. Kaki masih aja kedinginan, dan jaket pun sudah dua-duanya dipake, plus syal dan sarung tangan, masih aja kedinginan. Wajah pun harus seluruhnya ditutup karena hidung harus dilindungi supaya nggak masuk hawa dinginnya terlalu cepat. Menggigil dan coba untuk tidur lagi setiap kali kebangun karena dingin. Jam 4 pagi, tau-tau temen di sebelah saya udah pindah di kaki saya. Wah, ini orang tidurnya blangsak atau apa ya? haha. Ternyata dia kedinginan dan bermaksud berbagi matras dengan punya saya, karena dia kebetulan nggak bawa matras. Matras emang penting dibawa untuk jadi alas tidur kita. Walaupun pake sleeping bag, udara dingin di rumput tetep bakal kerasa kalo nggak pake matras.

         Di antar mata yang berat, akhirnya jam 5 saya dan teman satu tenda beranjak juga dari tenda. Untuk buang air kecil dan sarapan sebelum mulai perjalanan ke Tegal Alun. Tepat jam 6, kami memulai pendakian yang ajaib itu. Ini agak berlebihan kayaknya, maklum lah saya kan newbie, hehe, liat pemandangan cantik dikit langsung takjub.

Gimana nggak takjub kalo pemandangannya kaya gini

Gimana nggak takjub kalo pemandangannya kaya gini

        Di pendakian ini, sesekali kami berhenti untuk berfoto, setiap kali dapet pemandangan yang ajib. Pendakian dengan trek yang cukup terjal ini pun nggak begitu terasa, tau-tau udah ada di atas. Semua akan menyenangkan kalo dibawa enjoy, intinya. Mau liat gimana trek yang saya maksud? Ini dia…

trek mendaki ke Tegal Alun. Kayak mendaki air terjun deh

trek mendaki ke Tegal Alun. Kayak mendaki air terjun deh

            Nggak berapa lama, kita pun ketemu edelweis di sepanjang trek menjelang Tegal Alun. Foto-foto? Tentu dong. Vegetasi yang makin berkurang membuat tumbuhan edelweis jadi lebih istimewa. Kita juga perlu menjaga mereka, dan jangan pernah memetik apalagi dibawa pulang. Buat apa kita memperindah rumah dengan pajangan edelweis kalo mesti bikin jumlah mereka terus berkurang dan jadi tumbuhan langka nantinya. Jadi, yang diambil cukup gambarnya aja yaaa.

edelweis

edelweis

            Tegal Alun telah menunggu kita. Padang edelweis yang cantik jadi tempat yang tepat untuk melepas kelelahan. Bercanda, berbagi makanan dan minum, dan berfoto. Cukup untuk melunturkan stress yang menumpuk setelah bekerja.

a part of Tegal Alun

2014126073035

2014126074405

Setelah foto-foto, kami pun turun menuju hutan mati, di mana rahasia keindahan sebenarnya akan terungkap…

2014126081916

2014126082724

Dan inilah bagian terbaiknya : Berbaring menengadahkan kepala dan pandangan ke langit yang luas, biru dan awan yang bergumpal, meresapi semua keindahan dan keberadaan diri sendiri sebagai sesuatu yang kecil, tak ada apa-apanya, tapi berusaha ada dan menjadi teman untuk diri sendiri bersama alam. Alam yang menyejukkan mata dan hati. Alam yang menenangkan. Alam yang tak ada satu manusia pun bisa menggantikan perasaan ini…

saya dan alam

saya dan alam

2 thoughts on “Damainya Berbaring di Bawah Langit Papandayan

  1. Pingback: Bersyukur dengan Tetap Aktif dan Fit di Usia Produktif | n.d.e's page

  2. mantab ceritanya,., papandayan emang bagus untuk yang ingin mencoba [engalaman naik gunung tapi g terlalu berat, pemandangannya juga lumayan bagus terutama buat pasangan karena tempatnya romantis,

    nitip share kalau mau sewa peralatan naik gunung bisa cek di http://www.rover-outdoor.com lokasi jakarta ada di utan kayu.

    terima kasih 🙂

Leave a comment