Wejangan Mami, Oma, dan Kegundahan Nay

Malam itu perut serasa merengek-rengek untuk diberi makan. Kulkas kosong. Tak ada pula sayuran atau buah di meja dapur. Akh!

Mami seharian ngapain aja sih? tanya Nay dalam hati. Ia bergegas ke lemari dapur mencari-cari biskuit atau apa pun yang bisa dimasak dan dimakan.

“Nyari apa Nay?” tanya mami sambil menepuk pundak Nay, hingga membuatnya terkaget-kaget.

“Ya ampuun mami.. kaget tau!” pekik Nay yang tak sengaja menjatuhkan sebungkus mi instan ke lantai. “Mami kok nggak masak hari ini?” tanya Nay.

“Mami lagi gaenak badan. Pening, flu seharian,” jawab mami sambil menggosok-gosok hidungnya yang gatal.

Malam itu pun sembari memasak dan melahap mi instant kesukaan Nay, ia dan mami ngobrol panjang. Mulai dari anak-anak Bang Buyung dan Kak Siska yang sudah mulai sekolah, ngomongin papi di belakang, dan akhirnya sampai ke topik yang paling Nay hindari belakangan ini.

“Apa sih yang kamu tunggu, Nay?” tanya mami tiba-tiba.

Nay curiga. Ia tahu ke mana arah pembicaraan mami. Tapi ia memilih diam, kemudian menyeruput kuah mi yang paling gurih sedunia.

“Kenapa nggak nikah dulu aja. Resepsi kan bisa kapan-kapan…” ucap mami pelan dan hati-hati, takut menyinggung perasaan Nay, sembari menelisik respon Nay yang duduk di depannya.

Nay menghela nafas panjang. Memutar-mutar matanya ke semua arah.

“Terakhir mami ketemu oma, Oma tanya kapan kamu menikah. Katanya, oma kepingin bisa menyaksikan kamu menikah sebelum nggak ada,”

“Mi….hmm.. mami istirahat aja ya. Lagi nggak enak badan gitu gausah kebanyakan mikirin aku lah. Nggak ada pangeran yang tiba-tiba datang dengan kuda putih, mi. Semua perempuan juga pingin jadi ratu di kerajaannya masing-masing. Tapi.. itukan cuma kisah dari negeri dongeng mi. Tuh kan, aku jadi ngawur, hehe.. Aku tidur dulu ya mi, udah kenyaang.” jawab Nay panjang tak tentu arah. Kaki-kaki mungilnya menapaki anak-anak tangga menuju ke ‘istana’ tempat dia singgah setiap hari menitipkan mimpi dalam tidur.

Tak ada acara televisi yang menarik sama sekali. Tak ada pula pesan yang masuk di ponselnya untuk mengantarkannya pada tidur yang nyenyak.

Nay tertegun. Ia kembali teringat pembicaraan tadi. Nay membatin…

Mami dan pertanyaannya. Terlalu pelik untuk dijawab. Apa daya aku tak punya jawaban. Tuhan pun tak punya jawaban selain menunda mimpi untuk jatuh ke bumi. Mimpi-mimpi itu lebih memilih singgah di takdir orang-orang lain untuk terwujud. Satu.. dua.. sepuluh.. belasan.. mereka yang mendahuluiku meraih mimpinya. Setiap orang punya cerita indah masing-masing. Dan mungkin belum buatku. Aku bisa apa… Tuhan mungkin belum percaya. Karena nyatanya kita tak punya apa-apa. Cinta? Apa iya… hmmhh..

Image Nay mengacak-acak rambutnya. Matanya kembali berputar-putar ke sekeliling langit-langit. Berusaha berbicara dari hati ke hati. Dengan langit-langit? Tentu tidak.

Tuhan yang ia tuju. Rasanya ia terlalu banyak bertanya. Pertanyaan yang sama bertahun-tahun tertahan di sana. Di sudut pikirnya. Nay mulai jengah dengan semua pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi dirinya tetap tak bisa mengelak setiap kali mereka singgah dan mendatanginya.

ImageKenapa setiap orang ingin menikah? Kenapa pula lebih banyak presentase perempuan yang menginginkan dan merasakan kegundahan yang lebih ketimbang lelaki? Hampir semua perempuan teman sekantor merasakan yang sama, baik itu mereka yang belum, akan, atau sudah menikah. Kenapa pula pernikahan dipatok dengan umur yang pas, dan terlalu tua untuk menikah?

*       *       *

Seperti pagi ini ketika Nay berbicara melalui mobile messenger dengan teman baiknya di kampus dulu. Fath, yang baru saja menyambut kelahiran putera pertamanya, mengatakan hal yang sama.

“30 Nay? Sepertinya terlalu lama ditunda. Apa nggak ketuaan, Nay?” tanya Fath, ceplas-ceplos.

“Fath… Kalau aku bisa menentukan apa yang akan terjadi semauku, kamu tentu tahu apa yang akan aku lakukan. Mungkin aku akan melakukan apa yang disarankan Mami. Aku nggak mikirin soal kebanggaan, Fath. Aku nggak butuh kemewahan atau resepsi yang dilihat orang. Walaupun… mungkin dari pihak lain yang nggak bisa seperti itu. Apalagi cowok, Fath, idealisme dan gengsinya gede kalau soal pride-pride-an.”

“Aku ngerti Nay. Tiap keluarga punya pride masing-masing. Tapi aku nggak begitu, Nay. Hmm.. makanya sih aku nggak suka sama cowo, Haha..”

“Aku cuma.. Rasa ingin bersama yang membuatku ingin sekali selalu dekat. Kalau aja bisa hidup bebas kayak di negeri sana, aku bakal tinggal bareng tanpa harus nikah. Naif banget ya. Ini nih kayaknya ada jin yang nempel-nempel jadinya aku kebelet pengen nikah. Hahaha..”

“Hahaha…”

“By the way, Fath.. Selamat ya.. Atas kelahiran puteramu. Jadi ayah!!!! Cool!”

“Thanks, Nay. I hope for your happiness too. SOOOON!!!!”

 

Leave a comment